Rabu, 17 Juli 2013

Mutilasi Wasit dan Sepak Bola Kita

MENGERIKAN. Membuka internet pagi-pagi langsung "disodori" dua berita heboh.


Pertama pesawat Asiana Airlines milik maskapai penerbangan Korea Selatan jatuh saat hendak mendarat di Bandara internasional San Francisco. Sejumlah orang mati.

Lalu kedua, kasus mutilasi yang terjadi di Brasil.

Saya termasuk orang yang jarang tertarik membaca berita soal mutilasi. Saya ngeri membayangkan bagian tubuh terlepas dari tubuh secara paksa.

Tapi, karena melihat judulnya bahwa yang dimutilasi adalah seorang wasit yang memimpin pertandingan sepak bola, saya tiba-tiba tertarik.

Kejadian mengerikan ini menimpa wasit Otavio Jordao da Silva di liga sepakbola amatir Brasil. Itu berawal ketika da Silva terlibat perkelahian dengan seorang pemain bernama Josenir dos Santos Abreu. Si pemain menyerang wasit karena tak puas setelah dikartu merah. Buntutnya, da Silva mengambil pisau dan menusuk Abreu hingga akhirnya tewas.

Suporter yang marah lalu menangkap wasit dan cerita sadisnya berakhir dengan mutilasi.
Wasit dipotong menjadi empat termasuk memenggal kepalanya dan menancapkannya di tengah lapangan.

Begitu secara umum isi berita mutilasi heboh itu. Dan saya langsung teringat sepak bola kita.

Kekerasan di sepak bola kita juga tak pernah berhenti. Suporter masih saling pukul, hingga hampir setiap tahun duka akibat meninggalnya suporter masih jadi kabar buruk sepak bola negeri ini.

Tentu sangat memiriskan. Saat masyarakat pencinta bola Indonesia yang jumlahnya jauh lebih banyak dari penduduk Uruguay sedang bergairah menunggu prestasi membanggakan timnas, kejadian nahas malah terus terjadi.

Tapi begitulah nasib sepak bola kita. Suporter mungkin terlalu sering menyaksikan perdebatan dan sengketa tak masuk akal para elite sepak bola negeri ini. Sehingga mereka juga ikut-ikutan. Atau bisa jadi juga terbalik. Terserah Anda, mau memutuskan yang ikut-ikutan siapa. Yang jelas, sebagian suporter dan pengurus sepak bola kita masih sebelas dua belas. Mirip sifatnya.

Tak hanya oknum petinggi PSSI dan suporter yang merasa lebih berhak untuk melakukan apa saja untuk sepak bola kita, wasit yang selama ini menjadi garda utama untuk sepak bola yang berwibawa juga ikut-ikutan masa bodoh. Kadang juga malah memang bodoh dalam memimpin.

Pada beberapa laga yang disiarkan langsung di tv, sejumlah wasit memimpin dengan cara yang tidak pantas. Ada yang sangat jelas terlihat takut dengan intimidasi pemain sehingga didorong, ditarik, dan dikasari pun ia tak mengeluarkan kartu merahnya. Yang lain memimpin dengan "meladeni" tuan rumah dengan baik.

Contoh kasus di dua laga terakhir ISL. Gresik United versus Persija dan Persela versus Barito Putra. Di laga Gresik United melawan Persija, bisa dilihat bagaimana lemahnya kepemimpinan wasit. Satu contoh saat Shohei Matsunaga melakukan pelanggaran keras lalu setelah itu mendorong wasit. Tapi pemain bersangkutan hanya mendapat kartu kuning.

Pada laga Persela melawan Barito, Sabtu, 6 Juli, malam tadi, wasit kembali memperlihatkan kelasnya yang tak layak jadi pengadil.
Pada pertengahan babak kedua, tendangan bebas Okto Maniani mengenai tangan Samsul Arif di kotak penalti. Entah bagaimana wasit memberi alasan untuk kejadian ini sehingga tak ada penalti untuk Barito. Pertama, ia berada sangat dekat dengan pemain. Kedua, kalau wasit mengaku tak melihat, hakim garis yang jaraknya hanya beberapa meter, pasti bisa melihatnya. Kalau wasit dan hakim garis tetap mengaku tak melihatnya, maka kami penonton di seluruh Indonesia yang menyaksikan tayangan langsung itu MELIHATNYA.

Kejadian kedua di laga yang berlangsung di Stadion Wilis Kota Madiun, Jawa Timur tersebut adalah ketika Coulibaly Djibril mengontrol bola dengan perut di dalam kotak penalti Persela. Saat itu ia sama sekali tak terkawal sehingga dengan bebas ia menyodorkan bola ke rekannya. Melihat peluang gol ada dan pemain Persela sudah mati langkah, mereka pun mengangkat tangan memberi "kode" bahwa Djibril handball. Dan seperti saya duga, priitttttt!! Wasit melihat bola mengenai tangan Djibril dan meniup peluitnya sangat kencang. Astaga. Ini jelas aneh tapi saya tidak mau bilang bahwa itulah bukti sepak bola kita masih di tangan mafia.

Akhirnya, kini saya khawatir jangan sampai kasus di Brasil itu kelak menimpa persepakbolaan Indonesia. Apalagi, di level PSSI, aksi "mutilasi-mutilasi" pengurus sudah terjadi. Tapi saya masih punya harapan baik, kelak sepak bola kita akan membanggakan dan wasit, suporter dan petinggi PSSI akan berubah.

Makassar, 7 Juli 2013
(Memikirkan sepak bola dengan dua rasa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya