Minggu, 28 Juli 2013

Lebaran, Momen (Jangan) “Memaksakan” Status


Lebaran sebentar lagi. Sembilan hari terakhir akan jadi ajang belanja.
Mal akan jauh lebih ramai dari masjid. Beberapa penghuni saf belakang tak lagi menenteng sajadah. Kini, mereka lebih banyak menenteng kantongan berisi belanjaan.

Itu gambaran di kota-kota besar. Di kampung, saf-saf boleh jadi tetap terjaga, tapi pasar-pasar akan jauh lebih ramai dari biasanya. Orang-orang juga tak kalah sibuk berbelanja. Sebagian lain juga berangkat ke kota untuk mencari pakaian yang lebih bagus.

Lebaran, momen ini memang sangat dinantikan. Ada yang menantikannya sebagai hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa.

Tapi lebaran boleh jadi juga dinantikan untuk momen mempertegas status. Si kaya akan merayakan lebaran dengan pakaian-pakaian terbaiknya. Bukan cuma satu paket, tapi beberapa paket. Terkadang pakain lain saat akan berangkat salat id. Lain pula saat menerima tamu di rumah. Lalu pakaian berbeda juga ketika berziarah atau bepergian ke rumah tetangga dan kerabat.

Namun itu wajar. Mereka punya uang dan bisa sepuasnya berbelanja. Yang salah adalah ketika warga menjadikan momen hari raya ini untuk tampil “wow” dengan memaksakan diri untuk memaksakan status. Berutang kiri kanan, jual benda berharga atau keluar masuk pegadaian hanya untuk tampil keren. Dan di 11 bulan kemudian, pontang panting dalam kesulitan hidup.

Dari beberapa artikel di internet, tradisi berpakaian atau berbaju baru memang juga ada di zaman Nabi. Tapi jelas modelnya tidak dengan “memaksakan” status menjadi orang berada.
Sebaliknya, berlebaran di zaman Rasulullah yang jadi budaya adalah menceriakan anak yatim dengan memberikan pakaian yang lebih pantas di hari istimewa itu.

Barru, 28 Juli 2013 (Belum ada baju baruku kodong)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya