Rabu, 17 Juli 2013

Catatan Bidang Kriminal Menjelang Matahari 2009 Muncul



SEORANG teman dari Jakarta yang saya temui di Yogyakarta beberapa pekan lalu dalam suatu acara

pelatihan jurnalistik, bertanya tentang tingkat kriminalitas dan aksi demonstrasi di Makassar.
Nada pertanyaannya terkesan "melecehkan" kota ini. "Kok setiap hari ada saja kejadian kriminal di Makassar. Mahasiswa juga, kok sedikit-sedikit bentrok." Begitu kira-kira pertanyaannya ke saya.

Bersama teman dari salah satu media lokal di Makassar, saya pun mencoba memberikan penjelasan.
"Tapi kok, mahasiswa bisa berantem pakai benda tajam, panah, parang, dan badik?" Ia melanjutkan
pertanyaannya yang semakin sulit untuk dijawab.

Pengalaman saya itu tentu bukan saja saya yang alami. Saya yakin, beberapa orang yang mau jujur, juga

tak luput dari pertanyaan ini ketika mereka beradaptasi dengan rekan kerja, keluarga, atau teman bicara

dari daerah lain.

Ya, tentu sangat beralasan ketika orang di luar kita memberikan penilaian negatif terhadap kota ini. Di era

kemajuan teknologi informasi seperti sekarang ini, berita tentang kekerasan yang terjadi setiap saat

menjadi santapan menggidikkan kita dan juga orang di luar sana.

Belum lagi, belakangan ini, berbagai kejadian yang menjadi perhatian publik, pun terjadi. Salah satunya,

bentrokan antara mahasiswa Unhas dan aparat kepolisian, Selasa-Rabu, 16-17 Desember lalu di kampus

Unhas, Jalan Perintis Kemerdekaan. Dalam bentrokan itu, terlihat jelas bagaimana mahasiswa dan aparat

saling lempar, saling pukul, hingga berdarah-darah. Tanggapan pun bermunculan. Dari DPR RI, Komnas

HAM, dan orang-orang yang prihatin.

Sebelumnya, pada 17 November, kejadian sama juga terjadi di Universitas Muhammadiyah (Unismuh)

Makassar. Polisi juga terlibat adu jotos dan perang batu dengan mahasiswa sebanyak tiga kali. Padahal,

pemicunya sangat sepele. Katanya ada salah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

bernama Basyir pada Minggu, 16 November, tertembak polisi. Belakangan, hasil pemeriksaan forensik

menyebut jika luka di jidat Basyir bukan karena tembakan.

DI hari yang sama, mahasiswa UIN Alauddin yang juga turun jalan melakukan aksi solidaritas atas kasus

itu juga terlibat bentrok. Bukan dengan polisi, tapi dengan pengantar jenasah. Pengantar jenasah

mengamuk dan mengejar mahasiswa lantaran akases jalan tertutup.

Akhir tahun ini memang sangat memprihatinkan. Dalam beberapa pekan terakhir ini, tercatat di hampir

semua kampus sudah terjadi bentrokan.
Jika merunut mulai Oktober, maka bentrokan pertama yang melibatkan mahasiswa terjadi di Universitas

Islam Makassar (UIM). Peristiwanya 18 Oktober lalu, dimana melibatkan mahasiswa Fakultas Sosial Politik

(Sospol) dan Fakultas Teknik. Tiga mahasiswa terluka dan 17 lainnya diamankan polisi dalam bentrok yang

terjadi dua kali dalam sehari itu.

Seolah digilir, Universitas 45 pun pecah. Tepatnya 3 November, ratusan mahasiswa teknik dan hukum

terlibat saling serang. Mereka saling serang, saring lempar, saling busur dan membuat jalan macet. Saat

kondisi kampus itu masih panas-panasnya pasca diliburkan dua hari, bentrok berdarah juga pecah di

Universitas Muslim Indonesia (UMI), 6 November. Sore itu, Jl Urip Sumoharjo menjadi saksi begitu

nekatnya para mahasiswa. Mereka saling tikam, saling busur, dan saling tebas.

Bentrokan melibatkan mahasiswa fakultas teknik dengan mahasiswa yang tergabung di unit kegiatan

Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UMI itu menyebabkan mahasiswa teknik, Fajrin,25, luka parah terkena

tebasan parang di bagian belakangang kepala. Dua mahasiswa teknik lainnya, Al Gazali, 22 dan Bombong,

23, juga menderita luka akibat bentrokan tersebut dan dilarikan Rumah Sakit Ibnu Sina.

Setelah bentrokan aparat dengan mahasiswa Unismuh dan pengantar jenasah versus mahasiswa UIN, 17

November, bentrokan di 45 kembali pecah pada 19 NOvember. Dalam kejadian itu, Ersal, mahasiswa

teknik jurusan arsitektur angkatan 2008 menjadi korban. Empat luka di tubuhnya tak mampu ia tahan

hingga akhirnya meninggal dunia 21 Desember, atau setelah 32 hari dirawat di ICU RS Ibnu Sina.

Oknum mahasiswa UNM pun tak ingin ketinggalan. Sejumlah mahasiswa UNM Gunung Sari terlibat

perkelahian dengan pemuda Komplek Pemda Mappala, pada Selasa dinihari, 25 NOvember. Pemicunya

lagi-lagi sangat sepele. Berawal dari pemukulan mahasiswa oleh pemuda lantaran mengunjungi kekasihnya

di sebuah rumah kos-kosan sekitar pukul 01.30 dinihari.

Senin, 1 Desember, mahasiswa Universitas Indonesia Timur (UIT) juga tampil di media. Itu setelah mereka

juga terlibat bentrok. Ironisnya, mereka bentrok dengan satuan pengamanan (satpam) kampus. Presiden

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisipol, Anirwan pun mengalami luka di lengan kanannya dalam

kejadian itu. ia diduga terkena senjata tajam.

Polisi pun seolah tak pernah berhenti untuk mencoba menciptakan kondisi aman. Pertemuan pun dilakukan.

Persoalan bentrok ini dibahas dari mulai coffee morning Polda yang rutin dilakukan setiap Senin, hingga

pertemuan khusus yang melibatkan Gubernur, unsur muspida termasuk Kapolda, para rektor dan Pembantu

Rektor III yang berhubungan langsung dengan mahasiswa.

Dalam pertemuan itu, provokator dari luar kampus menjadi kambing hitam. Gubernur juga meminta agar

polisi melakukan pembicaraan dengan pihak kampus agar bisa menyisir kampus dan melakukan razia.

Sangat mendasar usulan gubernur. Sebab dalam bentrokan, selalu ada badik, panah, parang, pistol

rakitan, dan tentu minuman keras yang diketemukan.

Rektor Unhas pada pertemuan itu juga "menyindir" kampus yang mahasiswanya terlibat bentrok.

Menurutnya, jika ingin terkenal, maka bentroklah.

Namun tak lama setelah pertemuan itu, bentrok di Unhas pun pecah. Mahasiswa yang berdemo menolak

RUU BHP terlibat saling lempar dengan polisi selama dua hari. Dalam kejadian itu, satu mahasiswa

bernama Febrianto harus menjalani operasi hidung dan kaki karena patah.

Tapi di balik itu semua, prestasi yang cukup diperlihatkan aparat dalam pemberantasan korupsi. Beberapa

kasus berhasil dituntaskan dan diseret ke pengadilan dan kejaksaan. Sebut misalnya kasus terakhir, kasus

BNI fiktif dengan kerugian Rp 27 M. Sayangnya juga, kasus yang menyeret 7 tersangka ini dibongkar

Mabes Polri. Sejumlah kasus lainnya masih bergulir, termasuk kasus 28 anggota DPRD Kota Makassar

yang menerima uang dari kas pemkot di luar ketentuan.

Namun untuk persoalan pengananan kasus korupsi ini, Direktur LP Sibuk, Djusman AR memberikan rapor

merah bagi aparat.

Belakangan juga, tindakan kurang terpuji ditunjukkan beberapa oknum petugas. Mereka ada yang

tertangkap berjudi, mengonsumsi narkoba, hingga sebagai pengedar. Hanya saja, Kapolda Sulsel dan

Sulbar, Irjen Pol Sisno Adiwinoto, melihat sisi baik dari penangkapan dan pengungkapan itu.

"Itu bukti bahwa kami serius melakukan pembenahan ke dalam. Semakin aktif kita melakukan razia,

semakin banyak juga yang akan terjaring." Begitu kata Sisno di Clarion Hotel and Convention, Senin lalu.

Terkait banyaknya kejadian di beberapa pekan terakhir ini, Kapolda mengaku disebabkan provokator. Ia

lantas menyebtu perlunya diwaspadai sisa komunis, serta paham DI/TII. Terkait intensitas bentrok

mahasiswa, termasuk dengan polisi yang cukup tinggi di akhir tahun atau beberapa bulan setelah ia

bertugas, Sisno meragukan itu.

"Saya pikir kalau yang namanya sering itu harus evaluasi. Dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun ini

misalnya berapa demo dan terjadi anarkisme. Itu kalau mau analisa. Kalau saya pikir anarkis dan rusuhnya

yang kemarin-kemarin mungkin lebih rusuh. Pemerintah dan beberapa komponen mengakui 7-8 bulan ini

kondusif," katanya.

Dalam wawancara itu, Sisno juga mengakui bahwa kesan pertama dia di Makassar, yakni bahwa daerah

ini panas. "Dan saya harus tentramkan. Saya di sini harus beri kontribusi," katanya seraya menegaskan

bahwa dengan mahasiswa dan wartawan ia tak ada masalah. (amiruddin@fajar.co.id)