Rabu, 17 Juli 2013

Aku dan Nelson Mandela

Seluruh lampu sudah padam. Kini gelap. Tiba-tiba kepikiran presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan, Nelson Mandela. Bagaimana ya kondisinya, malam ini? Semoga masa kritis pencetus demokrasi di Afrika Selatan itu segera berlalu.


Tadi pagi aku membaca sebuah artikel tentang Nelson Mandela. Mungkin karena itu aku kepikiran dia.

Aku sudah lama tahu Mandela pernah dipenjara. Tapi bahwa Mandela dipenjara 27 tahun ketika melawan apartheid, sistem segregasi rasial di Afrika Selatan, aku baru mengetahuinya, pagi tadi.

Jelas dia seorang yang hebat. Terpenjara selama 27 tahun, pasti sangat berat. Aku yang baru terpenjara dalam kamar selama setahun saja, sudah seperti akan gila. Namun Mandela bisa melewatinya dan nasib baiknya muncul setelah itu.

Terlepas dia sosok yang sangat amat hebat dan dihormati dan aku hanya "cecunguk", tetap saja kami punya kesamaan. Tapi jangan simpulkan kesamaan kami dari warna kulit. Kalau dulu boleh jadi, ya. Namun kini, jelas tidak. Sebab sejak satu tahun terakhir, perlahan aku agak putih. Mungkin karena sinar matahari jarang menyentuh tubuhku. Ya, terpenjara ini ada hikmahnya juga. Dan semoga setelah ini nasib baik juga memilihku. Tak perlu jadi presiden, sembuh saja sudah sangat menyenangkan.

Kesamaan aku dan Mandela pada nama. Mandela ternyata juga punya beberapa nama. Itu seperti yang dikutip laman CNN. Saat lahir, dia diberi nama Rolihlahla Mandela oleh ayahnya yang pada umumnya berarti "pembuat onar."

Saat Mandela muda duduk di sekolah dasar, muncul nama Nelson yang diberikan gurunya, Nona Mdingane. Lalu ada nama Madiba yang merupakan tanda sayang dan hormat. Nama itu juga digunakan pemimpin klan Mandela, Thembu.

Tata. Itu juga nama Mandela.
Dalam bahasa Xhosa, kata ini berarti, bapak. Bahasa Xhosa juga menawarkan panggilan sayang lain untuk Mandela, yakni Khulu. Itu kependekan "uBawomkhulu," yang bisa berarti besar atau penting.

Pada usia 16 tahun dan mengikuti upacara adat menuju kedewasaan, Mandela juga diberi nama Dalibhunga. Artinya, pencipta, pendiri dewan atau pencetus dialog.

Seperti Mandela, aku juga punya banyak nama. Aku lahir dengan nama Amirullah. Lalu kemudian berganti menjadi Amiruddin. Di akta kelahiran, KTP, paspor, SIM, ijazah, rekening, hingga buku bahasa Indonesia sewaktu SD, nama itu yang aku gunakan.
Tapi tak banyak yang memanggilku dengan nama ini. Hanya guru SD, SMP dan SMA serta dua tante dari garis bapakku. Belakangan nama itu aku tambah nama pam keluarga kami menjadi Amiruddin Aliah.

Dalam kehidupan sehari-hari aku juga kerap disapa Miru. Kalau ada yang menegur, memanggil, menelepon atau sms dengan nama ini, kemungkinannya hanya dua. Kalau bukan keluarga dari garis keturunan ibuku, pasti dia orang sekampungku. Itu nama kecilku di kampung.

Amir. Itu juga nama panggilanku. Biasanya digunakan teman kantor, tetangga, teman serta kenalan di Makassar atau di luar Sulsel. Sejak tinggal di Makassar dan bekerja, nama panggilan ini yang aku gunakan. Biasanya hanya mendapat embel-embel "ade", "kak" atau "pak" di depannya sebagai pembeda lawan bercakap.

Di Desa Matajang, Kabupaten Bone, tempat KKN-ku dulu, aku juga punya nama panggilan. Dulu di sana, 2003 silam, kepala desa, istri dan sebagian warga menyapaku, Ami. Jadi kalau ada yang menyapa dengan nama tersebut, pasti itu dari Desa Matajang.

Saat kuliah di Unhas, nama panggilanku Miro. Sampai sekarang, nama itu masih melekat. Bahkan adik-adik mahasiswa yang masuk kuliah setelah aku wisuda masih mengenalku dengan nama ini. Selain Miro, kawan-kawan seangkatan dan sahabatku di kampus juga kerap menyapaku dengan "parner" atau "ner". Itu dari kata partner. Namun sepertinya itu sapaan bersama kami. Karena aku juga kadang menyapa mereka dengan "parner" dan "ner".

Ada satu cerita soal sapaan ini. Baru-baru ini seorang teman mengirimkan sms. Dia menanyakan kabarku. Karena HP lamaku rusak, namanya jadi tidak muncul. Di sms keduanya dalam percakapan kami, aku sudah tahu siapa dia ketika menulis "ner" dan nama salah satu kabupaten. Kadang, nama sapaan itu menyelamatkan kita dari perasaan bersalah karena nomor HP sahabat lama tak tersimpan.

Masih seputaran Unhas. Di kampus, ketika masih kuliah, ada juga teman menyapa dengan nama "Bucek". Mungkin alasannya karena waktu itu aku gondrong seperti artis Bucek Dev. Sebab kalau alasan gagah atau tubuh kekar, sepertinya aku tak bisa dimirip-miripkan dengan Bucek. Tapi hanya Hasyim "Chytos" dan Nurul saja yang memakai nama ini menyapaku. Mereka teman kuliah sejurusan dan seangkatanku. Sudah hampir 8 tahun aku tak pernah mendengar sapaan itu.

Namaku dalam edisi terbatas bukan Bucek saja. Aku juga punya nama panggilan yang kerap digunakan dua teman kantor saja, Jumain "Mutty" Sulaiman dan Ramah "Romy" Praeska. Keduanya sering memanggilku, La Bolong atau Abol yang singkatan dari Amir Bolong. Bolong dalam bahasa kami di Sulsel berarti hitam. Jadi kedua nama itu berarti "si hitam" atau "Amir hitam". Tapi sepertinya nama itu akan jadi masa lalu sebab aku tak terlalu bolong lagi.

Panggilan lainku, Meru, juga hanya digunakan dua penjahit asal Soppeng yang pernah bekerja di Jl Cakalang pada tahun 1997. Maaf, aku benar-benar lupa nama mereka.

Aku juga punya nama yang bisa dilabeli "edisi khusus". Alasannya, nama itu hanya dipakai satu orang saja. Pertama, Lambato. Nama itu hanya digunakan bapakku. Itu panggilan kesayangan bapakku sewaktu aku kecil. Bapak menggunakannya saat membangunkanku di pagi hari.

Seperti Lambato, nama Arman juga jadi "edisi khusus". Sapaan itu hanya pernah digunakan teman di pondokan mahasiswa bernama Rijal. Entah apa alasannya. Namun selain Arman, ia juga tetap menyapaku, Miro.

Di lingkungan keluarga, istri dan anak-anakku memanggilku "Ayah". Sebelumnya, saat kami belum punya anak, Eka, istriku menggunakan "Honey" untuk panggilan sayangnya. Sementara keluarga istriku setiap saat menyapaku dengan "Ayahnya Rara". Rara itu nama anak sulungku.

Terakhir, aku juga punya nama panggilan "Irex". Tahukan Irex? Sesuai iklannya di TV, itu minuman sachet penambah tenaga bagi pria. Cerita munculnya nama itu berawal saat aku dan klub sepak bolaku ikut turnamen di Citta, Soppeng. Ketika berangkat aku membawa Irex yang dipesan teman di klub.
Rencananya, itu akan aku berikan saat pulang dari Soppeng. Tapi karena di Kampiri, salah satu kampung menuju Citta sedang banjir besar dan kendaraan tidak bisa melintas, kami akhirnya batal melanjutkan perjalanan. Saat tertahan di Kampiri itulah aku mengeluarkan Irex itu dari dalam tas dan iseng bercanda, "Awwa, padahal engkana Irex itiwi (dalam bahasa Bugis berarti: Aduh, padahal sudah telanjur bawa Irex). Seketika seisi mobil tertawa. Pasti di pikiran mereka, Irex itu aku siapkan khusus untuk penambah stamina di lapangan. Sejak itulah nama tersebut melekat. (*)

Barru, 27 Juni 2013
(Saat tertawa dalam gelap)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya