Senin, 20 Desember 2010

Ketika Saya Bertakdir Wartawan

TANGIS bayi laki-laki itu menyeruak dalam malam, ba'da isya, Rabu, 15 Agustus 1978. Syamsiah, 34, didampingi suaminya, Saloge telah melahirkan bayi mungil di rumah panggung yang mungil. Kamar tempatnya mengerang kesakitan sejak magrib sudah dipenuhi familinya. Nama bayi mungil itu Amirullah sebelum berganti menjadi Amiruddin. Entah karena alasan apa.
Dalam buaian malam, dengan lampu penerang ala kadarnya, tanpa aliran listrik, Amiruddin perlahan tumbuh. Menjadi anak kecil. Hingga akhirnya masuk sekolah dasar di usia menjelang 7 tahun. Proses lahir hingga masuk SD tersebut selalu saya ingat secara pasti. Karena Amiruddin itu memang adalah saya.

Sejak masih SD, cita-cita saya adalah menjadi seorang guru. Kekaguman pada bapak membuat saya memutuskkan dan yakin akan cita-cita itu. Ya, Bapak memang seorang guru SD. Dia bergabung dalam komunitas Oemar Bakrie beberapa bulan setelah kakak tertua saya, Adil lahir di tahun 1971.

Karena kekaguman terhadap bapak, sewaktu kecil, setiap pertanyaan menyangkut cita-cita, jawabannya selalu guru.
Keinginan menjadi yang lain selain guru baru muncul setamat SD. Tepat saat harus menentukan pilihan kemana harus melanjutkan pendidikan. Menjadi seorang ustaz mendorong keinginan mendaftar di Pesantren DDI Mangkoso, Barru. Alasannya sederhana. Senang dan bangga mendengar orang lain melantunkan ayat-ayat suci atau berceramah di saat Ramadan. Jarak rumah kami ke ponpes itu juga tak jauh. Kurang lebih hanya 30 km.
Namun meniti karier di jalur ustaz tersebut urung. Bapak tak setuju. Menurutnya, jika ingin masuk pesantren, dia lebih sreg kalau di salah satu pesantren di Kabupaten Maros. Tak jelas alasannya dan saya kurang tertarik. Ibu juga mendukung.
SMP Padaelo akhirnya menjadi kesepakatan kami. SMP yang kini menjadi salah satu favorit di Barru itu berjarak 5 km dari rumah kami di Desa Lalabata. Cita-cita menjadi guru pun kembali terjaga hingga saya melanjutkan pendidikan di SMA 1 Barru.

Tapi keinginan menjadi guru hanya bertahan hingga kelas II SMA saja. "Nilai pelajaran IPA-mu bagus, Nak. Wali kelasmu juga menyarankan kau mengambil jurusan IPA." Begitu kata bapak yang disokong ibu hingga saya harus melupakan jurusan bahasa yang menjadi pilihan pertama saat disodori daftar pilihan jurusan sebelum kenaikan kelas.
Sukses tiga kakak sepupu saya menjadi dokter sepertinya sangat diharapkan ibu tertular ke saya. "Kamu harus bisa masuk kedokteran dan menjadi dokter seperti sepupu-sepupumu." Perkataan ibu itu yang membuat saya harus angkat tangan dan kembali bergelut dengan rumus-rumus dan teori eksakta. Mau tidak mau, sejak itu saya harus banting mencita-citakan cita-cita ibu yang ingin anaknya menjadi dokter.

Sayang, semua tak berjalan mulus. Keterpaksaan memilih IPA berbuah fatal. Harapan mewujudkan impian ibu hanya semu. Tak dibarengi usaha. Ogah-ogahan belajar, nilai jeblok. Sempat memporsir diri belajar menjelang Ebtanas, tapi tak lagi bisa membantu. Hari pengumuman akhirnya menjadi saat mendebarkan. Karena sudah menyebar bahwa saya tak lulus, tidak ada lagi keberanian untuk melihat pengumuman. Kolong ranjang pun jadi tempat persembunyian saat teman sekolah datang mengajak bareng-bareng ke sekolah.
"Kalau memang kau tidak lulus, Nak, kau pindah ke Maros saja. Di sana kau bisa ambil jurusan lain," kata bapak membujuk keluar dari kolong ranjang. Saya pun menyerah dan ke sekolah didampingi kakak dan seorang tentara.

Memang saya nyaris tak lulus. Untungnya penentuan kelulusan saat itu masih oleh rapat guru. Dan entah dengan bantuan siapa, saya bisa lulus, tentu saja dengan nilai yang sangat mengecewakan.

"Lulus jako. Sudahmi saya tanya gurumu," kata Kak Adil yang membuat saya nekat melepas cincin emas sahabat saya, Mila di depan tokoh emas. Uang penjualan tersebut pun buat pesta miras bersama "pengawal pengumuman saya" yang sebelum berangkat sudah berikrar mengobrak abrik sekolah jika saya tak lulus.
Pesta miras itu bermakna ganda. Ekspresi kegembiraan sekaligus kekecewaan. Saya gembira bisa lulus. Di lain perasaan, saya kecewa karena merasa diri tak seharusnya khawatir tak lulus andai saja di jurusan bahasa atau IPS.

Intervensi soal masa depan ternyata masih berlanjut saat akan kuliah. Ibu dan bapak tetap dengan harapan semula. Saya harus menjadi dokter. Jurusan kedokteran harus menjadi pilihan utama saat mendaftar di Unhas. Pilihan lainnya, saya mendaftar di  UNM. Memunculkan kembali cita-cita SD, sebagai guru. Tapi akhirnya, keinginan mengabulkan harapan ibu memiliki seorang anak dengan status dokter lebih besar. Saat itu, jadilah saya mendaftar jurusan kedokteran.  Karena kebetulan memilih IPC, pilihan kedua dan ketiga saya pilih Ilmu Kehutanan dan Ilmu Hukum. Khusus Hukum, saya memilihnya karena usulan teman kakak saya yang saat itu kuliah di Fakultas Hukum Unhas. Sedangkan Kehutanan, itu murni pilihan pribadi. Saya selalu senang jalan di hutan. Ini mungkin lantaran saya aktif di pramuka dan bergabung di saka wanabakti.

Hanya saja, ketidakseriusan belajar saat SMA dampak negatifnya masih berlanjut. Hasil tes, khususnya pelajaran IPA hancur. Akhirnya, di tahun 1997, saya tak lulus UMPTN. Jadilah saya seorang pengangguran.


Gagal merintis jalur karier menjadi guru dan dokter, di tahun yang sama saya nyaris menjadi tentara. Karena dianggap terlibat dalam penganiayaan, saya disarankan mendaftar tentara oleh saudara nenek tempat menumpang selama pelarian. Tapi itu juga tak kesampaian. Ibu ingin saya kuliah. Harapan ibu agar saya mengikuti jejak kakak terwujud. Tahun 1998, saya akhirnya memegang kartu mahasiswa Unhas sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah.
MARET 2004, Unhas mewisuda ribuan mahasiswanya. Seorang di antaranya adalah saya. Gelar sarjana sastra (SS) pun menjadi pelengkap nama. Saat itu saya telah menikahi Eka dan dikarunia seorang putri, Aura Nur Sabila.
Tak ada yang istimewa dengan gelar SS tersebut. Sebaliknya, saya tidak tahu akan menjadi apa dengan titel itu.
Satu yang pasti, ibu telah senang, anak bungsunya sarjana.

“Sekarang jadi apa. Jadi guru tak mungkin, dokter lebih-lebih.” Begitu di pikiran usai wisuda.
Sempat ibu mertua menyinggung salah satu perusahaan swasta. Katanya di situ banyak keluarganya dan juga kenalannya. Tapi saya tak tertarik.

Sepekan kemudian, jalur masa depan mulai terbuka. Itu setelah berkunjung ke rumah adik sepupu, Nasrullah di Puri Taman Sari. Ulla yang alumni UNM dan diwisuda hampir bersamaan dengan saya mengajak mendaftar di Harian Fajar. Katanya ada pengumuman penerimaan wartawan. Sempat saya menolak dengan berbagai alasan. “Jadi wartawan? Apa tidak ada pekerjaan lain?” kata saya.

“Kita coba saja mendaftar. Kalaupun diterima dan ada pendaftaran PNS, kita bisa mendaftar lagi.”

Kami berdebat lama. “Wartawan itu citranya jelek. Suka memeras.” Saya terus mencari alasan. Namun akhirnya luluh juga. “Begini, kau temani saja saya mendaftar. Buat saja lamaran dan kita bawa besok. Kebetulan besok sudah hari terakhir pendaftaran.” Saya pun mengalah.

Setelah mencatat seluruh persyaratan, saya langsung pulang ke kampus Unhas. Sebelumnya, kami bikin janji bertemu di kantor Harian Fajar di Jl Racing Centre pukul 14.00 keesokan harinya.
Di pondok Abustan Kampus Unhas, rumah kos saya selama kuliah, rencana mendaftar wartawan masih seperti lelucon. Seumur hidup, menjadi wartawan sama sekali tak pernah terbayangkan. Belum lagi, memang tidak ada kemampuan menulis.

Terlanjur mengiyakan, dibantu teman-teman pondokan surat lamaran pun jadi bersama curiculum vitae. Surat keterangan lulus juga disiapkan. Maklum ijazah belum keluar.

Esoknya, saya menelepon Ulla. Hanya saja, ia ternyata membatalkan mendaftar. “Saya tidak jadi pergi mendaftar,” katanya dari balik telepon. Tak dijelaskan alasannya. Karena sejak awal hanya berniat menemani Ulla, saya tak protes pembatalan sepihak itu. Di hati malah bersyukur.

“Kenapa belum berangkat. Saya kira mau ke Fajar.” Om Dan, penghuni tertua di pondokan menegur saya yang asyik main gitar di balai-balai. “Batal,” jawab saya singkat.
“Ai, sia-sia itu kita bikin surat lamaran. Ke sana saja,” kata Om Dan.
Tak ingin mengecewakan Om Dan, saya akhirnya menurut juga, langsung ke kamar dan menyambar ransel. Maksud hati hanya sekadar memuaskan Om Dan yang ikut membantu membuat CV dan surat lamaran. Yang ada di pikiran, lebih baik ke kampus saja. Toh tidak akan ada yang akan tahu, saya betul ke Fajar atau tidak.

Saat menuju kampus, kalimat Om Dan terur membayangi pikiran. “Sepertinya saya rugi kalau betul-betul tidak mendaftar. Sudah merepotkan orang, begadang lagi.” Pikiran itu menuntun saya menyetop petepete dan duduk di belakang sopir.

Saat itu, jam yang didudukkan di dasbhor mobil menunjuk angka setengah tiga. Artinya, satu setengah jam lagi pendaftaran tertutup.

Awalnya setengah hati, di petepete, saya ternyata gelisah juga. Mobil kampus berjalan sangat lambat. Sedikit-sedikit singgah. Tiap ada lorong berhenti. Kadang menunggu penumpang yang masih di atas becak atau sedang berjalan. Saat tak ada yang naik, petepete melaju lagi.

Hingga separuh jalan dari kampus menuju kantor Fajar, perjalanan terasa sudah sangat lama. Saya melirik kembali jam di dasbor ternyata sudah pukul 15.00. Artinya, sisa sejam waktu saya sementara saat itu masih di belokan pertigaan Tallo depan PLTU. Emosi pun muncul setiap kali sopir menghentikan mobilnya seraya membunyikan klakson. Memberi kode ke calon penumpang.

“Ini mungkin pertanda saya memang tak ditakdirkan mendaftar.” Itu yang muncul di benak.

Pukul 15.20, akhirnya sampai juga ke jembatan Abdullah Dg Sirua dan turun. Setelah membayar ongkos, langsung menyeberang ke Jl Racing Center dan mempercepat langkah menuju kantor Fajar yang jaraknya sekira 100 meter dari jalur angkot.

Masuk ke halaman gedung Fajar suasana tampak sepi. Dua security menyambut di pos satpam dan mempersilakan masuk. “Tempat pendaftaran wartawan di mana Pak?” Saya tanya seorang satpam lagi di lantai I.
“Terlambat ki. Sepertinya personalia sudah pulang.” kata satpam itu usai menelepon. Mungkin ke bagian personalia.

“Tapi kalau mau titip berkasnya, silakan saja. Siapa tahu masih bisa diterima.” katanya seolah bisa membaca mimik kecewa saya. Saat sedang bimbang, muncul seorang pegawai lain dengan ember dan sapu di tangannya. Celana digulung sebatas lutut. Belakangan saya tahu namanya Taufiq. Dia menghampiri saya.

“Mau mendaftar ya? Pak Irwan bagian personalia sudah pulang. Tapi sinimi berkasnya. Nanti saya bawa ke ruangannya,” kata Taufiq.

Wartawan sepertinya memang sudah menjadi takdir saya ketika itu. Tak punya harapan lagi lantaran telat mendaftar, berselang dua hari nama saya diumumkan sebagai salah satu pendaftar yang lulus seleksi berkas. Kabar menyebar cepat. Bapak di kampung menelepon. Bertanya seolah tak percaya. Ibu juga tak kalah kagetnya. Ia tak menyangka bahkan tak merestui anaknya menjadi wartawan. Sederet alasan disampaikan. Dan semuanya menyudutkan wartawan. Dari pihak istri juga demikian. Tak kalah sengit melarang.

“Saya hanya mendaftar wartawan olahraga. Mana bisa memeras kalau wartawan olahraga. Saya kan memang hobi olahraga.” Saya mencoba meyakinkan mereka. Tapi bapak dan ibu teguh pada pendiriannya.


Satu-satunya yang memberi dukungan hanya kakak saya, Adil. “Tidak ada pekerjaan yang jelek. Wartawan juga bagus sepanjang bisa serius,” katanya. Itu yang menyemangati hati yang sudah nyaris sampai pada keputusan, batal. Dan setelah melalui serangkaian tes, termasuk wawancara, saya dinyatakan lulus untuk mengikuti magang.
KINI sudah masuk tahun ketujuh saya bekerja di Harian Fajar. Waktu yang sudah cukup lama untuk ukuran orang yang bekerja di perusahaan. Tak ada lagi fokus lain selain meliput dan menjalankan seluruh kerja-kerja jurnalistik. Ijazah S1 yang dibiayai dengan tetes keringat dan kadang tetes air mata orangtua, belum sekalipun saya lihat. Ijazah tersebut masih tersimpan di kampus Unhas.
Tak pernah kepikiran untuk mengambil ijazah ini. Lebih aman jika di kampus. Toh juga tidak tahu, mau diapakan kalau diambil.
Kesibukan menjadi wartawan telah menjadi bagian terpenting dalam hidup saya. Tapi bukan berarti dalam proses panjang ini tidak pernah muncul masalah. Bapak dan ibu sejak tahun pertama sebagai wartawan hingga sekarang masih menginginkan anaknya menjadi seorang PNS.

“Bagaimana kah pekerjaanmu. Kalau ada pendaftaran, coba lah sekali-kali mendaftar. Mending jadi PNS. Kamu akan punya gaji pensiun. Kalau sakit ada askes. Pekerjaan juga tidak terlalu berat.” Kalimat ini bergantian diucapkan bapak dan ibu. Entah sudah berapa kali. Bapak juga mempersoalkan saya yang harus pindah dari desk olahraga.

Syukur belakangan keduanya akhirnya menyerah juga. “Kalau memang kau anggap menjadi wartawan itu sudah baik, biarlah. Jalani saja, tapi jaga kesehatan dan jangan lupa salat. Karena saya lihat kau sibuk sekali,” kata ibu suatu malam saat saya pulang kampung.

Sebenarnya, saya harus jujur beberapa kali pikiran ini sempat ingin menurut ke orangtua. Saat lelah bekerja seharian, atau ketika perasaan kurang nyaman. Sempat juga berpikir untuk mencoba peruntungan di media lain. Tapi sama seperti rencana-rencana sejak SD hingga kuliah, tak satupun yang jadi.
Hal paling berpengaruh yang membuat saya bertahan di profesi ini adalah proses menjadi wartawan itu sendiri. Proses panjang dari magang selama beberapa bulan, mengikuti pendidikan setahun dan tentu saja berbagai pengalaman menyedihkan, serta menyenangkan dalam penugasan.

Saya tidak akan pernah lupa bagaimana harus jalan kaki saat liputan atau ketika pulang ke rumah dan mobil kampus sudah tidak ada.
Kadang malah harus jalan kaki hingga 2 km sehari. Dari kantor di Racing Centre ke Jl Urip Sumiharjo dan dari pintu I Unhas ke pondokan. Ini saat saya masih dalam proses magang.

Lolos dari proses magang bersama dua teman seangkatan, Aswad Syam (Fajar) dan Adnan Husain (Koran Tempo), M Yusuf (BKM), M Rusli (Harian Parepos) pengalaman pahit merintis karier belum berujung. Saat itu, masih di 2004, kami harus mengikuti pendidikan selama setahun. Setiap peserta pendidikan diwajibkan magang di anak grup. Satu grup tiga bulan.

Saya mengawali proses ini di Radar Sulbar. Awalnya ditugaskan di Polman lalu dipindah ke Majene. Di sana kantor biro menjadi pilihan untuk tinggal. Kantor biro ini letaknya di pinggiran kota Majene.
Meski sudah mendapat gaji, persoalan biaya hidup tetap saja masalah utama. Dua minggu pertama, nasi goreng menjadi favorit. Maklum ini yang paling murah. Di Majene memang harus ekstra irit. Sebab untuk sekali makan saja, itu harus mengeluarkan uang hingga Rp 16 ribu. Rp 10 ribu buat makan dan selebihnya Rp 6 ribu untuk biaya ojek. Pengeluaran untuk makan diperparah dengan sewa ojek saat meliput. Maklum, saat itu roda dua masih sebatas impian belaka.

Saya sempat mengalami Ramadan yang berkesan di sana. Makan sahur tengah malam atau berbuka puasa dengan air dan roti. Semua baru berubah setelah bertemu sepupu ibu yang istrinya ternyata anggota DPRD Majene. Kehidupan, khususnya terkait isi perut perlahan membaik. Juga sudah ada tempat tinggal yang nyaman. Malah juga dipinjami motor. Lega rasanya.

Tapi persoalan di Majene bukan hanya perut atau tempat tinggal saja. Saya juga sempat mengejar rekor sopir angkot di sana. Tiap hari pulang balik Majene-Polman. Karena tagihan membengkak dan jaringan internet diputus, sebulan sebelum penarikan, saya harus mengantar disket berisi berita ke kantor pusat Radar Sulbar di Polman. Jaraknya lumayan, Kurang lebih 70 km. Itu menjadi rutinitas. Berangkat sekira pukul 12. 00 dan kembali lagi ke Majene setelah menyetor berita. Melelahkan.

Setelah menuntaskan tugas di Majene, pendidikan dilanjutkan ke Sengkang, Kabupaten Wajo. Menjadi wartawan Fajar biro Sengkang. Juga selama tiga bulan. Di Sengkang pekerjaan agak lebih mudah. Meski masih harus naik bentor (becak motor) setiap hari untuk meliput, fasilitas jauh lebih bagus. Tinggal di kantor biro dengan makanan yang sudah disiapkan tiap hari, itu sangat membantu. Iklan juga bisa menopang gaji bulanan.

Dari Wajo, pendidikan berlanjut ke Palopo. Tujuannya anak grup Fajar, Palopo Pos. Karena saat itu di Masamba, Luwu Utara akan digelar pemilihan kepala daerah secara langsung, penugasan saya dialihkan ke sana. Tanda-tanda penderitaan di sana sudah terlihat saat pertama menginjakkan kaki di Masamba. Malam pertama lewat dengan puasa. Tanpa makan. Saya tidak tahu itu kebiasaan keluarga Pak Uwa, kepala biro Palopo Pos saat itu, atau bukan, yang pasti hingga pagi, panggilan makan malam tak pernah terdengar.

Pagi-pagi saya langsung membawa seluruh barang ke kantor biro Masamba. Setelah itu mencoba bertanya ke orang-orang soal rumah kos. Ternyata tak ada yang cocok. Bukan lantaran luas kamarnya tak sesuai selera atau letaknya yang kurang bagus, melainkan harga sewanya. Sebulan untuk satu kamar minimal Rp 200 ribu. Hanya bergaji sekira Rp 700 ribu saat itu, sudah termasuk ongkos bus sekira Rp 120 ribu setiap rapat awal bulan di Makassar, saya yakin tak sanggup. Setelah dikalkulasi, dikurangi uang makan dan lagi-lagi ongkos ojek, gaji tak akan cukup.

Keputusan pun bulat. Tinggal di kantor biro yang tak lain bekas kafe. Dinding kafe hanya tertutup sebagian. Di bagian depan dan samping kiri, hanya tertutup setinggi satu meter. Selebihnya, dinding hanya menggunakan balok kayu kecil yang disilang-silangkan. Saat malam, angin pun dengan leluasa masuk. Juga tidak ada tempat tidur dan bantal. Bahkan karpet sekalipun. Jadinya, malam pertama saya lalui dengan tidur di lantai beralaskan koran. Bantalnya tumpukan koran. Pagi-pagi, saat koran tiba, saya akan dengan buru-buru mengumpul seluruh koran alas tidur. Menyusunnya kembali untuk dipakai lagi malam berikutnya.

Itu berlanjut sepekan sebelum pemilik rumah, Pak Au yang menyewakan kafenya untuk kantor biro Palopo Pos mengintip lewat jendela pada suatu malam. Keesokan harinya, istrinya, langsung membawakan karpet berikut dua bantal. Paling tidak pekan-pekan selanjutnya, tidur bisa lebih nyenyak meski dingin masih menyiksa.
Tapi itu masih sangat jauh dari kesan layak. Kantor biro juga tak punya toilet. Jadi saat malam, jejeran bunga menjadi sasaran untuk buang air kecil. Cukup menyiapkan air galon saja. Yang jadi masalah serius lagi, buang air besar.

Pernah suatu malam, sekira pukul 02.30 dini hari, tiba-tiba perut sangat sakit. Tanda-tanda BAB harus segera dilakukan. Membangunkan pemilik rumah tak mungkin. Pilihan satu-satunya, duduk di belakang rumah yang memang tepat di belakang toilet. Tentunya sambil memegangi perut dan berdoa mudah-mudahan ada yang terbangun.

Saat sudah sangat putus asa dan keringat mulai bercucuran, ternyata Allah SWT memberi pertolongan. Pak Au muncul. Ia baru pulang dari rumah saudaranya. Mendengar suara motornya, saya langsung melompat menyambutnya.

“Minta maaf Pak, sakit sekali perutku.” Begitu kata saya sebelum dipersilakan masuk dan mengebom secara sporadis.

BAB tengah malam itu ternyata ada hikmahnya juga. Malam itu, Pak Au menawarkan tinggal di rumahnya. Katanya bisa tidur di depan TV. Saya pun tanpa basa basi mengangguk setuju. Sejak itu, tiap malam, pintu belakang rumah tak pernah lagi dikunci. Katanya agar saya bisa leluasa masuk ke rumah kapan pun.

Persoalan perut selama sebulan juga tuntas berawal dari BAB itu. Malam itu, tanpa malu saya sampaikan ke Pak Au, bagaimana kalau tiap hari makan di rumahnya saja. Bayarannya per bulan. Saya hanya meminta disiapkan nasi dan mie rebus. Sekali makan bayar Rp 2.500. Itu disetujui. Keesokan harinya, nasi mie rebus pun tersedia. Saya kembali lolos dari siksaan warung sari laut, makanan termurah di Kota Masamba. Artinya saya bisa mengirit Rp 15 ribu per harinya. Belakangan, karena mungkin kurang enak hati melihat saya hanya makan mie rebus, Pak Au berkata, “Amir ambil saja sendiri makanan tiap hari di atas meja makan. Apa yang ada di sana, itu yang dimakan. Tidak perlu lagi mie rebus terus.” Mulai saat itu, saya mulai berganti menu makan. Kehidupan yang lebih sadis dari pondokan mahasiswa pun perlahan berubah.

Masalah perut usai, muncul kembali masalah lama. Soal tidur. Sekira sebulan setelah bisa menikmati TV dan terhindar dari embusan angin malam, tiba-tiba muncul adik ipar Pak Au. Kalau laki-laki mungkin tidak ada masalah. Tapi ini perempuan. Lumayan cantik lagi. Seumuran pula dengan saya. Awalnya sebenarnya tidak ada masalah. Saat malam, ketika saya masuk ke rumah, adik ipar Pak Au akan berhenti nonton TV dan masuk kamar. Sayangnya itu tak lama. Malam-malam selanjutnya, ia mulai sering ketiduran di depan TV. Perasaan pun mulai tak nyaman. Saya tak mau memunculkan cerita negatif. Beberapa malam setelah itu, saya kembali tidur di kantor biro. Saya baru kembali bermalam di rumah Pak Au, jika adik iparnya tidak ada. Untungnya, di Masamba tugas saya hanya tiga bulan.

Dari Masamba, saya selanjutnya pendidikan di Ujungpandang Ekspres.. Kondisi keuangan kembali menyiksa. Jika di Palopo Pos masih bisa mendapatkan gaji Rp 700 ribu plus iklan atau advetorial, di Upeks, sebagai wartawan magang, kami tentu tak bisa berharap terlalu banyak. Yang susah sebab saya bertugas di Makassar. Tanpa motor dan tempat tinggal lagi. Untungnya saya berposko di DPRD Sulsel dan transpostasi bisa lebih lancar. Tak perlu lagi jalan kaki seperti pengalaman magang sebelumnya. Perjalanan waktu di Upeks sepertinya sangat lamban. Tapi di situ saya bisa mendapat banyak ilmu soal jurnalistik dari Yoko yang menjabat redaktur metro. Tiga bulan berlalu, proses pendidikan pun berakhir.

Tes psikologi yang sukses saya lalui pun menegaskan status baru saya sebagai wartawan.

Proses panjang melelahkan dan meletihkan, menyedihkan dan kadang lucu itu jugalah yang banyak mempengaruhi keputusan saya. Keinginan meninggalkan profesi ini seperti pupus jika mengingat semua yang telah saya lalui. Termasuk harus mengorbankan perasaan dan berpisah dalam waktu lama dengan keluarga dan si bungsu Aura yang sedang lucu-lucunya.

Hal lain yang membuat saya merasa rugi berhenti adalah sejumlah pengalaman liputan. Termasuk pengalaman di KRI Fatahillah selama sepekan meliput proses pencarian pesawat Adam Air yang jatuh 2006 silam. Saat itu, saya berangkat liputan sepekan dengan satu baju, satu celana dan dua bungkus rokok. Selebihnya, banyak lagi kisah yang sudah tercatat dalam perjalanan hidup saya yang membuat saya semakin yakin bahwa wartawan memang sudah takdir saya. (*)

Bumi, sejak saya bisa berpikir hingga Minggu, 17 Oktober 2010

3 komentar:

  1. Waw ceritanya bagus saya sangat suka 1 word strong " Amazing "

    BalasHapus
  2. Selalulah sehat Miru...Amin Yaa Robbal Alamien

    BalasHapus
  3. selalula sehat Miru,.....Amin Yaa Robbal Alamin

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan dan kritikan Anda di blog dan tulisan saya